Tulisan ini saya tujukan khusus untuk kaum Muslimin dan Muslimat, sehubungan dengan hari Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal yang jatuh pada tanggal 26 Februar1 2010. Tetapi bila ada saudara-saudara kami di luar agama Islam ingin membacanya, tidak ada salahnya, karena tulisan ini tidak menyinggung atau merendahkan agama lain. Malah ada baiknya, untuk menambah pengetahuna Anda, demi meningkatkan toleransi kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, dan siapa tahu anda mendapat Hidayah dari Allah SWT. Amin.
Kelahiran dan Masa Kecil Muhammad
Nabi Muhammad SAW dilahirkan sekitar 570 Masehi di Makkah. Ayahnya, Abdullah, meninggal beberapa pekan sebelum kelahirannya. Karena merupakan kebiasaan bagi seorang bayi yang baru lahir untuk disusui seorang ibu angkat, pada awalnya Nabi dipelihara oleh seorang wanita Badui, Halimah.
Ibunda Nabi, Siti Aminah, meninggal dunia saat usia Nabi enam tahun dan beliaupun tinggal dengan kakeknya, Abdul Mutthalib. Hanya dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal, dan Nabi pun berada dalam pemeliharaan pamannya, Abu Thalib, seorang pedagang. Perasaan kehilangan di usia yang demikian muda menjadikannya pribadi yang pemikir dan sensitif. Ia sangat menekankan perlunya mengasihi anak yatim, wanita, sebagai golongan lemah dalam masyarakat. Sebagai seorang laki-laki, ia menggembala domba di padang pasir. Sejak kecil Muhammad dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya, sehingga mendapat julukan Al Amin.
Maulid Nabi Muhammad SAW.
Muhammad dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah atau sekitar tahun 570 Masehi, yang di kalangan umat islam lebih dikenal dengan Maulid Nabi. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara substansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah merayakan maulid beliau, maka sebagian umat Islam menganggap perayaan Maulid ini bid’ah. Namun demikian, sebagian besar Muslim Indonesia, merayakan Maulid Nabi setiap tahun, termasuk Maulid Nabi yang dilaksanakan secara Nasioanal, yang selalu dihadiri oleh Kepala Negara, para pejabat tinggi dan duta besar negara-negara Islam.
Perayaan Maulid Nabi pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Ada yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin.
Di kehidupan masa kini, kita telah mafhum dan mengenal berbagai macam peringatan hari-hari, baik itu hari kenegaraan seperti Hari Kemerdekaan, dll. Peringatan itu untuk mensyukuri atau merenungan segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kita yang sampai detik ini masih dapat kita nikmati. Rasa syukur dan renungan itu tidak haram, karena dengan merenungi segala nikmat tersebut, insya-Allah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Allah berfirman: ”Barangsiapa bersykur, maka Aku akan menambah nikmat-Ku, tapi bila kamu ingkar, maka Azab-Ku amat pedih (QS Ibrahim:7).
Maka, suatu hal yang sangat penting dan utama dalam peringtan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, adalah hendaknya kita dapat meneladani atau mencontoh cara hidup beliau, berdasarkan apa yang diajarkan dan dicontohkan Nabi SAW, Kekasih Allah SWT. Karena, hanya dengan mencontoh kehidupan Rasulullah SAW itu, kita akan menjadi orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah:”(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raa 7:157)
Pribadi Yang Mulia
Nabi Muhham SAW adalah seorang manusia yang sangat sempurna, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dia-lah Kekasih Allah. Nama Nabi Muhammad SAW selalu ”digandengkan” dengan Nama Allah. Nama Muhammad Saw sendiri sudah ada sejak Nabi Adam diciptakan. Allah sendiri memuji akhlak dan budi pekerti Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman-Nya:”Sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam: 4).
Jangankan kita, para sahabat saja tak sanggup melukiskan keindahan akhlak Rasulullah SAW. Apabila mereka ditanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah SAW, mereka hanya bisa menangis. Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi SAW. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu peristiwa yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Ketika Siti Aisyah r.a, istri Nabi SAW ditanya oleh seorang Badui tentang akhlak Nabi SAW, beliau hanya menjawab: ”Akhlak Muhammad itu Al-Qur’an”. Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi SAW itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui itu tidak puas, bagaimana mungkin ia segera mengetahu akhlak Nabi kalau ia harus membaca seluruh kandungan Al Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak Surat Al-Mu’minun ayat 1-11, yaitu: ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang khusuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, mewarisi surga Firadaus. Mereka kekal di dalamnya”
Dan ketika didesak pertanyaan tentang kesan beliau terhadap suaminya, Nabi Muhammad SAW, Aisyah menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ”Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.Suatu saat, Nabi Muhammad SAW membuat khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. Dia terkejut bukan kepalang melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.”
Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi SAW mengingatkan, “Berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Ada seorang sahabat yang mempunyai kesan yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis SAW. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul SAW memanggilnya. Rasulullah SAW memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasulullah SAW pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi SAW tersebut.
Begitulah akhlak Rasulullah SAW, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia?.
Nabi Muhammad SAW juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasulullah SAW selalu memujinya. Abu Bakar- lah yang menemani Rasulullah SAW ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasulullah SAW sakit. Tentang Umar, Rasulullah SAW pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi SAW bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi SAW memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasulullah SAW menjawab “ilmu pengetahuan.”Tentang Utsman, Rasulullah SAW sangat menghargai Utsman karena itu Usman menikahi dua putri Nabi SAW hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasulullah SAW bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad SAW Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad SAW Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah SAW berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di Padang Mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Para sahabat terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut balas hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Tapi Rasulullah SAW melarangnya. Rasulullah SAW menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi SAW keheranan ketika Nabi Rasulullah SAW meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasulullah SAW berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah tubuh Rasulullah SAW. Nabi SAW berkata, “Lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi Rasulullah SAW dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi SAW itu tidak mungkin diucapkan kalau Rasulullah SAW tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Rasulullah SAW sebelum Allah memanggil Rasulullah SAW ke hadirat-Nya.
Nabi Muhammad SAW ketika melaksanakan Haji Wada’, di Padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi SAW dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi Rasulullah SAW melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasulullah!”
Kemudian, Rasulullah SAW pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi SAW meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya.
Rakhmatan Lil Alamin
Nabi Muhammad SAW sebenarnya bukan untuk orang Islam saja, atau hanya untuk manusia saja. Tapi Nabi Muhammad Saw merupakan rakhmat bagi seluruh alam, artinya bagi seluruh jagat raya ini, baik bumi, langit dan tata surya serta semua makhluk yang ada di antara keduanya, seperti matahari, bulan, bintang, manusia, hewan, tumbuh-tumbuahan dlsb. Firman Allah SWT :“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Surah Al-Anbiya’:107).
Tanamkanlah cinta sedalamnya kepada Rasulullah SAW dengan mencontoh akhlak, ibadah dan sunnah beliau. Bersalawatlah selalu kepada Nabi, karena bukti orang yang mencintai seseorang, ialah sering menyebut-nyebut namanya.
Lihatlah betapa cintanya Bilal bin Rabbah kepada Nabi SAW. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, beliau menolak untuk menjadi muazzin di Mesjid Nabawi, karena khawatir dirinya tidak dapat membendung air mata dan rasa rindu mengenang saat bersama Rasulullah. Beliau akhirnya hijrah ke Syam untuk berjihad mengikuti jejak langkah para sahabat Nabi, meninggalkan Madinah, kota dimana dia selalu bersama orang yang sangat dikasihinya.
Setelah sekian lama berada di kota Damascus, Bilal didatangi Rasulullah SAW di dalam mimpi. Rasul bersabda: “Wahai Bilal, apakah yang menahanmu? Sudah lama engkau tidak datang menjengukku?.” Lalu Bilal pun bergegas menziarahi Madinah. Di Madinah, Bilal dibujuk oleh cucunda Nabi, yakni Hassan dan Hussein untuk mengumandangkan azan. Bilal akhirnya setuju.
Saat mendengar suara emas Bilal, sayup-sayup di Madinah terdengar dengan ratapan dan tangisan. Banyak orang melihat melalui jendela dan keluar dari rumah menuju ke jalanan. Sambil menahan rasa rindu kepada Rasulullah SAW, mereka bertanya, “Apakah Rasulullah SAW telah dihidupkan kembali?” Ada pula yang berbisik dengan linangan air mata, “Marhaban ya Rasulullah, Marhaban ya Rasulullah.” AllahummaSolli ala Muhammad.
Uswatun Khasanah
Secara fisik, Muhammad merupakan manusia sempurna yang patut menjadi Uswatun Hasanah, suri tauladan bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab: 21).
Secara batiniah Rasulullah mempunyai sifat-sifat yang terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi sayang, tidak semua manusia menyadari keberadaan unsur tersebut, apalagi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW. umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela.
Hal ini karena mereka belum dapat menghayati Muhammad dalam nilai-nilai terpuji, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap hari mereka selalu mengatakan dalam shalat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh unsur terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an: ”Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran: 31).
Cinta Rasulullah SAW
Bila kita benar-benar cinta kepada Rasulullah SAW, tidak cukup hanya dengan pujian dan salawat saja. Bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW adalah dengan mengamalkan seluruh hadist-hadistnya. Hadist Nabi ini ada tiga bagian besar, yaitu 1. Penampilan (termasuk cara berpakaian dan pelihara jenggot), 2. Cara hidup sehari hari (mulai bangun tidur sampai tidur kembali) seperti makan, minum, mandi, buang air, tidur, ibadah shalat, puasa, pernikahan, hubungan suami-istri, perdagangan, dlsb), dan 3. Fikir Rasulullah, bagaimana agar semua umat Rasulullah SAW masuk surga.
1. Mengamalkan hadist-hadist dan ajaran Rasulullah SAW.
Banyak sekali hadist-hadist Rasulullah sebagai kecintaan Rasul kepada umatnya. Tentu bukti cinta kita adalah dengan mengamalkan hadist-hadist tersebut. ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi), maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’ (QS Ali Imran:31)
2. Memperbanyak shalawat dan pujian untuk Nabi SAW
Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi . Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kepadanya dan ucapkanlah salam ..‘
3. Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar
Allah berfirman: ”Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan kalian beriman kepada Allah….(QS Ali Imran:110)
Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW sejak diangkat sebagai Rasulullah SAW, beliau dan para sahabat bukan hanya menjalankan ibadah, tapi berdakwah. Karena dakwah, Islam tersebar ke seluruh dunia, sehingga sampai ke negara kita Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bukan karena dibawa oleh burung atau diterbangkan oleh angin, tapi oleh manusia, juru dakwah.
Indonesia saat ini merupakan ”negara Islam” terbesar, setidaknya dalam jumlah, karena kalau dari kualitas, ”ntar dulu”, kata orang Betawi. Islam tersebar di Indonesia bukan dengan cara kekerasan atau perang, tapi dengan akhlak yang indah, yang dibawa oleh para da’i terdahulu, yang lebih dikenal sebagai ”pedagang” sehingga orang dengan sukarela masuk Islam, tanpa disuruh atau dipaksa.
Tapi saat ini, umat Islam mayoritas di Indonesia, tapi kehidupan kebanyakan mereka sangat menyedihkan, jauh dari ajaran agama Islam. Mesjid tidak terhitung jumlahnya, setiap RW atau dusun ada satu mesjid bahkan ada beberapa musholla, tapi umumnya kosong. Yang shalat paling banyak 1-2 saf saja. Malah banyak mesjid di kampung yang shalat hanya satu orang, yaitu muazin saja. Bahkan ada beberapa mesjid berubah menjadi sangkar kambing, karena sudah lama tidak ada yang shalat di situ.
Banyak sekali orang Indonesia yang tidak shalat, terutama anak-anak muda. Mesjid hanya diisi jamaah yang sudah ”hampir magrib”, yang KTP-nya sudah ”seumur hidup”. Orang Islam saat ini tingkah laku dan cara hidupnya, tidak lagi Islami, baik cara berpakaian, berdandan, berdagang, acara pernikahan, dlsb. Banyak orang Islam yang minum khamar, berjudi, korupsi, berzinah, dlsb, jauh dari akhlah yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Dakwah Cara Rasulullah
Sekarang banyak ”ustadz” dan alim ulama, yang bertaraf nasional, memberikan tauziah dan ceramah dimana-mana, melalui TV, radio atau langsung melalui tabligh akbar dihadapan ribuan orang dan jutaan pemirsa, tapi tidak ada orang non Muslim yang tertarik masuk Islam. Mengapa? Karena akhlak dan perilaku kebanyakan orang Islam saat ini tidak beda dengan mereka yang non Muslim. Disamping itu, dakwah para ustadz yang ”ngetop” itu, tidak sesuai dengan cara dakwah Rasulullah SAW dan para sahabat, yang tidak meminta upah dan mendatangi ummat. Mereka menerima bayaran sampai puluhan juta rupiah sekali tampil, bukan ikhlas karena Allah, sehingga ”bayan” atau ceramah agama mereka tidak ada ”ruh”nya, tidak ada kekuatan. Karena pada hakikatnya yang dapat memberikan hidayah adalah Allah SWT, bukan karena kepintaran dan kehebatan ceramah seorang da’i atau ustadz.
Saat ini dakwah cara Rasulullah SAW sudah mulai dihidupkan kembali, ada lebih dari 200 negara termasuk Indonesia, yang mengirim jamaah ke seluruh dunia. Orang lain menyebutnya jamaah tabligh, padahal kami sendiri tidak pernah menamakan diri seperti itu. Mereka datang dari berbagai negara ke Indonesia, mengajak orang Islam kembali shalat, yang sudah shalat diajak kembali ke mesjid.
Mereka mengorbankan diri, harta dan waktunya di jalan Allah. Tidak ada yang membiayai, bukan Pemerintah, LSM atau organisasi apapun. Mereka berdakwah dari satu negeri ke neggeri lain, dari pulau ke pulau, darai kota ke kota, dari desa ke desa, dari mesjid ke mesjid dan dari rumah ke rumah serta dari orang ke orang langsung bertatapan muka, tanpa bayaan serupiahpun, malah mereka menggunakan harta dan uang mereka sendiri. Mereka hanya mengharap ”upah” dan keredhoan Allah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Berkat usaha dakwah, saat ini umat Islam berkembang di seluruh dunia, di Amerika Serikat, negara-negara Eropa termasuk Inggris, Prancis dan Italia, Jepang, Korea, temasuk di Israel ada markas dakwah. Ribuan mesjid sudah berdiri di negara-negara yang tadinya tidak mengenal Islam samasekali.
Rasulullah SAW Sangat Mencintai Ummatnya
Rasulullah SAW adalah orang yang sangat cinta dan peduli dengan umatnya, sehingga digambarkan Allah SWT: ”Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri. Ia merasakan beratnya penderitaan kalian, sangat mendambakan (keimanan dan keselamatan) kalian, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman’ (QS At Taubah:128)
Begitu cintanya Rasul terhadap umatnya sehingga ucapan terakhir beliau sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir adalah: ”umatti… umatti … ummatti..’. Annisa,….annisa , annisa dan As-shalat, …. as-shalat, as shalat…. Karena Rasulullah SAW telah menyaksikan, bahwa di akhir zaman, umat Islam semakin banyak jumlahnya, tapi cuma KTP saja. Tidak menjalankan perintah-perintah Allah, terutama shalat, padahal amal yang paling utama setelah iman kepada Allah, adalah shalat. Apabila shalat kita baik, maka amal-amal yang lain akan menjadi baik. Tapi bila shalatnya amburadul, apalagi bila tidak shalat sama sekali, maka amal-amal yang lain seperti puasa, zakat, haji dlsb, tidak akan ”diperhitungkan” sama sekali.
Shalat yang paling sempurna (shalat fardhu), untuk lelaki dewasa adalah WTC (bukan World Trade Center-tapi waktu, tempat, cara). Waktu shalat, di awal waktu, beberapa saat setelah azan dikumandangkan (bukan entar-entar dulu-shalat Zuhur saat menjelang waktu Ashar misalnya). Tempatnya di mesjid atau musholla atau dimana azan dikumandangkan (bukan di rumah atau di kantor). Caranya berjamaah, bukan shalat sendiri-sendiri. Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun shalat fardhu di rumah!!! Kalau kita merasa umat Muhammad SAW, ikutilah cara beliau, maka kita akan selamat. Pada saat hampir wafaatnya pun, Rasulullah tetap shalat berjamaah di mesjid. Karena tak kuat lagi berdiri, beliau terpaksa ”diapit” oleh dua sahabat, dan yang disuruh menjadi imam shalat saat itu adalah Abu Bakar Sidieq.
Rasulullah juga sangat mengkhawtirkan kaum wanita, bukan karena beliau ”gila wanita” sebagaimana sering difitnah oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam, tapi karena Rasulullah SWT sudah melihat isi Neraka kebanyakan wanita, saat beliau Isra’ Mi’raj.
Mengapa Kita Harus Berdakwah?
Kalau kita hanya mengandalkan amal ibadah saja, jangankan untuk ditukar dengan surganya Allah, ditukar dengan nikmat berupa sebelah biji mata saja, amal ibadah kita tidak cukup. Coba evaluasi lah amal ibadah kita masing-masing. Sejak kapam kita mulai shalat, jangan-jangan tidak sama-sekali, adakah shalat kita yang benar-benar khusuk? Jangan-jangan semua shalat kita ”busuk”, fisik kita shalat tapi pikiran melayang entah kemana. Bagaimana puasa kita?, jangan-jangan puasa Ramadhanpun tidak, apalagi puasa sunah. Zakat kita bagaimana?, jangan-jangan tidak pernah berzakat, hanyan bayar fitrah 2,5 liter beras setiap tahun padahal kita kaya dan banyak harta. Haji bagaimana? Apalagi pergi haji dengan uang haram, hasil korupsi. Apalagi bila ditambah dengan dosa-dosa kita yang pernah kita perbuat, maka timbangan amal kita tambah ”jomplang” lagi, lebih banyak dosa dari pada amalnya.
Bagaimana caranya agar kita dapat ”mengejar” timbangan amal kita, padahal umur kita sangat singkat? Camkan baik-baik firman Allah ini”Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari Azab yang pedih? ,(yaitu) kamu beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya dan ber-jihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui .Niscaya Allah akan Mengampuni dosa-dosamu dan Memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan memasukkan kamu ke tempat tinggal yang baik di dalam Surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar” (QS As Shaff: 10-12):
Allah sendiri telah mendakwahkan siapa Dia, Allah berfirman ”Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan diri-kanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thahaa:14)
Untuk memperkenalkan kepada manusia siapa diri-Nya, maka Allah telah menurunkan para Nabi dan Rasul, mulai Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad SAW. Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad, hanya berdakwah untuk kaumnya pada kurun waktu tertentu. Tapi Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi penutup untuk seluruh alam. Allah tidak akan menurunkan Nabi lagi.Saat ini Rasulullah SAW telah tiada, padahal tugas kenabian beliau tidak berakhir saat beliau wafat, tapi sampai Hari Kiamat nanti. Para sahabat juga sudah tidak ada lagi. Maka, tugas kita semua umat Islam untuk meneruskan usaha kenabian (bukan menjadi Nabi), yaitu berdakwah, mengajak berbuat makruf dan mencegah yang mungkar. Merupakan farddhu a’in, bukan hanya tugas ustaz atau alim ulama saja. Tentunya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, karena ”Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemapuannya”(QS Al Baqarah:286))
Dakwah (mengajak) dan tabligh (menyampaikan) ini adalah untuk diri kita sendiri untuk meningkatkan iman kita. Rasulullah pernah bersaba: ”Apabila kalian ingin ilmu, maka dekat-dekatlah padaku, tapi bila kalian ingin iman, maka pergilah jauh dariku”. Maka tidak heran bila dari 123 ribu sahabat, hanya 10 persen saja yang meninggal dan dikebumikan di Tanah Arab. Sebagian besar lainnya meninggal dan dikubur di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mereka rela meninggalkan Rasulullah yang sangat mereka cintai demi untuk menyebarkan agama Allah, padahal tiga hari saja tak berjumpa Nabi, mereka sangat rindu.
Sebagai perumpaman, bagaimana agar kita disayangi atasan kita? Tentu kita menjalankan segala tugas dan perintah bos bukan?. Sehingga apapun yang kita minta termasuk kenaikan gaji, akan diberikan sang majikan. Bagaimana bila”Bos” itu adalah ”Raja dari semua raja”, Allah?. Itulah yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, sehingga Allah Ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Adakah anugerah dan kebahagiaan yang melebihi daripada keridhoan Allah? Tidak ada!
Sekarang terserah kita mau menfaatkan kesempatan yang Allah berikan atau tidak. Mumpung kita masih ada umur dan kesempatan. Tidak ada paksaan dalam agama. Selanjutnya terserah anda.
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar